SELAMAT DATANG DI WONOSOBO KUTAKU

Sabtu, 29 Mei 2010

Mie Ongklok



Jangan ke Wonosobo kalau tidak makan Mie Ongklok. Itu kata beberapa orang yang sudah gandrung dan kecanduan menyantap makanan khas daerah lereng Dieng itu. Hmmm mie ongklok, makanan yang dalam pembuatannya diongklok-ongklok
Bahan:

750 gram udang, kupas, kulit, kepala, ekor disisihkan
1.5 lt air
2 batang seledri, cincang kasar
2 daun bawang, cincang kasar
2 sdm kecap manis
250 gr mie basah, seduh air panas, siram lagi dengan air dingin
150 gr kol, iris tipis, rebus 1/2 layu
2 sdm tepung kanji, larutkan dengan 4 sdm air
3 sdm minyak sayur untuk menumis

Bumbu Haluskan :
8 bawang merah
5 bawang putih
1 sdt jahe cincang
3 butir kemiri sangrai
2 sdm tongcai
3 sdm ebi
2 sdm garam
3 sdm gula pasir
1 sdt merica bubuk

Pelengkap :
Telor rebus
Daun bawang, seledri : iris tipis
Cabe rawit rajang halus
Jeruk nipis
Kecap manis sesuai selera

Cara Memasaknya:
Cincang udang, sisihkan

Panaskan minyak, tumis bumbu halus beserta kulit, kepala dan ekor udang, aduk sampai berubah warna. Tambahkan air, lalu masak dengan api kecil sampai air menjadi keruh.

Saring kuah lalu panaskan kembali diatas api

Masukkan udang cincang, kecap manis, masak sampai udang berubah warna. Tambahkan larutan tepung kanji, aduk sampai kuah kental.

Penyajian : atur mie basah, kol, telor rebus, siram kuah udang dan tambahkan bahan pelengkap lain nya..

Rabu, 26 Mei 2010

Obyek wisata di wonosobo






Agro Wisata Tambi
Agro Wisata Tambi Terhampar luas di lereng gunung sindoro, dengan ketinggian 1.200 – 2000 m diatas permukaan laut. Suhu udara rata-rata minimal 15 º C dan suhu maksimal 24 º C. PT. Tambi mengelola 3 unit perkebunan yang terletak di Bedakah, Tanjungsari, Desa Tambi dengan luas 829 hektar yang dilengkapi fasilitas pondok wisata, kolam pemancingan, lapangan tennis, taman bermain, kebun dan parik teh.Pengunjung akan diajak berkeliling menelusuri jalan kebun teh, berolahraga sambil menikmati pemandangan, juga mendapat penjelasan mengenai agronomi, pengolahan dan pemasaran. Bagi pengunjung yang ingin bermalam juga disediakan pondok wisata dengan fasilitas yang cukup memuaskan.

Gardu Pandang Tieng
Sebelum sampai di Dataran Tinggi Dieng, sejenak kita dapat melepas lelah di Gardu Pandang Tieng, dengan ketinggian 1800 m diatas permukaan laut, dari atas gardu pandang dapat menikmati pemandangan yang sangat indah, dan dipagi hari dapat pula melihat matahari terbit dengan cahaya keemasan atau dengan istilah “Golden Sun Rise” di pagi hari dan perjalanan dapat dilanjutkan menuju Dataran Tinggi Dieng untuk menyaksikan terbitnya matahari yang kedua dengan cahaya yang keperak-perakan (Silver Sunrise)

Air Terjun Sikarim
Memiliki ketinggian 80 meter dengan latar belakang bukit yang menjulang dan banyak ditumbuhi perdu dan tanaman langka. Terletak di desa Mlandi Kecamatan Garung 20 km sebelah utara kota Wonosobo.

Telaga Menjer
Merupakan telaga alam terluas di Kabupaten Wonosobo. Berada di ketinggian 1300 meter diatas permukaan laut, dengan luas 70 Ha dan kedalaman 45 meter. Telaga Menjer terletak didesa Maron Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo 12 km sebelah utara kota Wonosobo.

Telaga Warna
Ini adalah salah satu objek wisata di kawasan Dieng Wonosobo bernama telaga warna. Warna telaga yang mempunyai kandungan sulfur tinggi ini bisa berubah dari hijau, kuning atau biru. pengunjung juga bisa menyusuri telaga dari bawah, karena pengelola menyediakan balkon kecil untuk para wisatawan



SEJARAH KOTA WONOSOBO

Sekitar awal abad ke-XVIII, tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu pemukiman di daerah Wonosobo, Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber clan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini.

Sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan ketiga tokoh tersebut dianggap sebagai cikal bakal dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang. Dikemudian hari dikenal pula beberapa tokoh penguasa Daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa Daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik, dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduto sebagai Penguasa Wonosobo dengan pusat kekuasaannya di Kalilusi Pecekelan (Sapuran), yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok atau Plobangan. Ki Songowedono Cucu dari Kyai Karim dikenal pula sebagai salah satu penguasa di Wonosobo karena mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Kraton Mataram, kemudian berganti nama menjadi Tumenggung Jogonegoro.

Pada awal abad ke-XVII Agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar Agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi seorang menantu dari Kyai Wiroduto. Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid di Dukuh Bendosari (Sapuran) dipercaya sebagai cikal bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan Ulama Islam dan pemilik Pondok Pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Soleh,3 Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha clan Kyai Hasbullah.

Pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan salah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Tokoh-tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda antara lain imam Musbach yang kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. Ki Muhammad Ngarpah adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo walaupun perjuangannya tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten clan sebagainya, akan tetapi keberadaan Ki Muhammad Ngarpah sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Ki Muhammad Ngarpah bersama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempurannya pasukan yang dipimpin Ki Muhammad Ngarpah dapat menewaskan ratusan tentara Belanda termasuk empat orang tentara Eropa dan berhasil pula mengambil emas lantakan senilai 28,00 Gulden pada saat itu. Kemenangan pasukan yang dipimpin Ki Muhammad Ngarpah adalah kemenangan pertama pasukan pendukung Pangeran Diponegoro. Berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Ki Muhammad Ngarpah clan Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro, clan pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif clan Kyai Ngabdul Radap. Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasannya dari Selomerto ke Kawasan Kota Wonosobo seperti sekarang ini.

Dari hasil seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1994 yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari Jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD clan Pimpinan Komisi DPRD serta instansi di Wonosobo, disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Ju1i 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi Penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro.